Senin, 10 Desember 2012

ANALISIS PRILAKU DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang terjadi dalam hubungan antara konselor dan klien. Dengan tujuan mengatasi masalah klien dengan cara membelajarkan dan memberdayakan klien. Untuk memperoleh pemahaman dan pencapain tujuan dalam konseling, faktor utama yang mempengaruhi yaitu bahasa merupakan alat yang sangat penting. Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya.

1.2  TUJUAN
Untuk  mengetahui  analisis prilaku dalam konseling lintas budaya
1.3  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana konsep konseling lintas budaya ?
2.      Bagaimana ketermpilan dan prilaku yang dimiliki konselor dalam konseling lintas budaya ?
3.      Bagaimana pengaruh budaya dalam prilaku ?



BAB II
PEMBAHASAN
ANALISIS PRILAKU DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA


2.1.  Konsep Konseling Lintas Budaya

Konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang terjadi dalam hubungan antara konselor dan klien. Dengan tujuan mengatasi masalah klien dengan cara membelajarkan dan memberdayakan klien. Untuk memperoleh pemahaman dan pencapain tujuan dalam konseling, faktor utama yang mempengaruhi yaitu bahasa merupakan alat yang sangat penting. Bila terjadi kesulitan dalam mengkomunikasikan apa yang diinginkan dan dirasakan oleh klien, dan kesulitan menangkap makna ungkapan pikiran dan perasaan klien oleh konselor, maka akan terjadi hambatan dalam proses konseling.

            Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu. 

            Proses konseling memperhatikan, menghargai, dan menghormati unsur-unsur kebudayaan tersebut. Pengentasan masalah individu sangat mungkin dikaitkan dengan budaya yang mempengaruhi individu. Pelayanan konseling menyadarkan klien yang terlibat dengan budaya tertentu; menyadarkan bahwa permasalahan yang timbul, dialami bersangkut paut dengan unsur budaya tertentu, dan pada akhirnya pengentasan masalah individu tersebut perlu dikaitkan dengan unsur budaya yang bersangkutan.

2.2. Keterampilan dan Prilaku Konselor Lintas Budaya

1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor
         Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.       Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi
  1. Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
  2. Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi.
  3. Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
  4. Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
  5. Memiliksi keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
  6. Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.



2. Prilaku Konselor
       Para konselor lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity harus dapat mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang dialami oleh klien. Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan dapat world view klien. prilaku konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa konselor dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:
a.       Dimensi keyakinan dan sikap
  1. Dimensi pengetahuan
  2. Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang dimilki individu
       Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki prilaku atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.

          Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari prilaku tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Keyakinan
Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak) dan kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di samping itu juga yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan memiliki kekuatan serta kemampuan untuk mencapai tujuan.
2.      Nilai-nilai
Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap nilai-nilainya. Konselor tidak menggunakan standar moral dan sosial berdasarkan nilai-nilainya. Dalam hal ini konselor harus memiliki keyakinan penuh akan nilai-nilainya dan tidak mencampurkan nilai-nilainya dengan nilai-nilai klien.
3.      Penerimaan
Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa dihargai sebagai peribadi dengan suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat wajar tanpa dibuat-buat.
4.      Pemahaman
Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan pemahaman, yaitu :
a.       Pengetahuan tentang tingkah laku, kepribadian, dan minat-minat individu,
b.      Memahami kemampuan intelektual dan kemampuan verbal individu,
c.       Pengetahuan mengenai dunia internal individu, dan
d.      Pemahaman diri yang meliputi keseluruhan tingkatan tersebut
5.      Rapport
Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang hangat dan permisif, agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan efektif.
6.      Empaty
Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan perasaan klien.

3. Persyaratan Konselor Lintas Budaya
            Isu konselor dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas budaya sebagai berikut:
a.       Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik akademik maupun pengalaman.
  1. Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
  2. Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi khusus klien.
  3. Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
  4. Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangka-prasangkanya.
  5. Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.
2.3. Pengaruh Budaya Pada Prilaku
Pengantar konseling lintas budaya yakni menatap masa depan adalah untuk terus belajar tentang bagaimana budaya mempengaruhi prilaku manusia. Ketika berinteraksi dengan orang dari budaya lain diseluruh dunia, baik saat kita berpergian atau sebaliknya, kita menghadapi berbagai cara budaya mewujudkan dirinya melalui prilaku. Dengan meningkatnya pemahaman kita tentang perwujudan-perwujudan ini, kita akan semakin menghargai pentingnya peran budaya, tidak hanya dalam memberi kita rambu-rambu dalam hidup tapi juga dalam membantu kita menemukan  jalan untuk bertahan hidup. Kenyataannya, budaya menyediakan bagi kita aturan-aturan yang memastikan berlangsungnya hdup, dengan asumsi bahwa sumber daya hidup masih tersedia.
Alasan lain mengapa kita masih perlu belajar tentang budaya adalah bahwa budaya terus berubah. Budaya bukanlah entitas yang statis dan tetap. Dengan definisi fungsional kita tentang budaya, kita tau bahwa budaya bisa berubah seiring waktu. Saat ini pun kita sedang menyaksikan perubahan-perubahan dalam budaya dan orang-orang eropa, asia, dan amerika serikat. Perubahan-perubahan ini memastikan bahwa kita tidak akan kekurangan bahan untuk di pelajari berkaitan dengan pengaruh budaya pada prilaku manusia. Tapi kita perlu menumbuhkan keinginan untuk mempelajarinya.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Pengantar konseling lintas budaya yakni menatap masa depan adalah untuk terus belajar tentang bagaimana budaya mempengaruhi prilaku manusia. Ketika berinteraksi dengan orang dari budaya lain diseluruh dunia, baik saat kita berpergian atau sebaliknya, kita menghadapi berbagai cara budaya mewujudkan dirinya melalui prilaku.
Prilaku konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling.
 Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling.
3.2 SARAN
Makalah ini jauh dari kesempurnaan,kritikan dan masukan dari pembaca dapat menambah kesempurnaan dari makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi penulis.


karakteristik perkembangan remaja


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang

Periodesasi perkembangan manusia berlangsung mulai dari fase prenatal, infancy, bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Masing-masing fase itu memliki karakteristik yang khas. Perpindahan dari suatu fase ke fase berikutnya terjadi perubahan.
Inteligensi mempunyai sumbangan yang cukup bermakna (signifikan) terhadap prestasi dan keberhasilan belajar seseorang. Kebermaknaan ini dibandingkan dengan aspek-aspek di luar inteligensi seperti kepribadian, motivasi, minat, sikap dan kebiasaan belajar. Ada beberapa plihan kegiatan yang dapat dilakukan guru (sekolah) dalam menstimulasi perkembangan inteligensi peserta didik.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah karakteristik perkembangan inteligensi pada remaja?
2.      Usaha apa sajakah yang dapat dilakukan oleh orang tua dan guru dalam membantu perkembangan inteligensi remaja?

C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan Peserta Didik.
2.      Menjelaskan tentang karakteristik perkembangan inteligensi pada remaja.
3.      Menjelaskan usaha-usaha apa saja yang harus dilakukan oleh orang tua dan guru dalam membantu perkembangan inteligensi remaja.
D.      Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1.         Agar pembaca dapat memahami karakteristik perkembangan inteligensi pada remaja.
2.         Supaya pembaca dapat mengetahui usaha-usaha apa saja yang harus dilakukan oleh orang tua dan guru dalam membantu perkembangan inteligensi remaja


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Karakteristik Perkembangan Inteligensi Remaja
Pada periode remaja inteligensi berkembang semakin berkualitas dengan bertambahnya kemampuan remaja untuk menganalisis dan memikirkan hal-hal yang abstrak, akibatnya remaja makin kritis dan dapat berpikir dengan baik. Pikiran remaja sering dipengaruhi oleh teori-teori dan ide-ide sehingga menimbulkan sikap kritis terhadap lingkungannya. Pendapat orang tua sering di banding-bandingkan dengan teori yang di internalisasi remaja. Akibatnya, sering terjadi pertentangan antara sikap kritis remaja dan aturan-aturan, adat-istiadat, kebiasaan, dan norma-norma yang berlaku di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat.
Sebagai akibat remaja telah mampu berpikir secara abstrak dan hipotesis, maka pola pikir remaja menunjukkan kekhususan sebagai berikut:
1.      Timbul kesadaran berpikir tentang berbagai kemungkinan tentang dirinya.
2.      Mulai memikirkan bayangan tentang dirinya pada masa yang akan datang.
3.      Mampu memahami norma dan nilai-nilai yang berlaku dilingkungannya.
4.      Bersifat kritis terhadap berbagai masalah yang di hadapi.
5.      Mampu menggunakan teori-teori dan ilmu pengetahuan yang dimiliki.
6.      Dapat mengasimilasikan fakta-fakta baru dan fakta-fakta lama.
7.      Dapat membedakan mana yang pentng dan mana yang tidak penting.
8.      Mampu mengambil manfaat dari pengalaman.
9.      Makin berkembangnya rasa toleransi terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengannya.
10.  Mulai mampu berpikir tentang masalah yang tidak konkret seperti pilihan pekerjaan, kelanjutan studi, dan perkawinan.
11.  Mulai memiliki pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
Taraf kecerdasan masing-masing individu tidak sama, ada yang rendah, sedang, dan ada yang tergolong tinggi. Perbedaan itu telah ada sejak lahir, namun perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Untuk memperjelas pengklasifikasian inteligensi, berikut ini dikemukakan pengklasifikasian menurut Binet dan WAIS-R (dalam Azwar 1996).

IQ
Persentase
Klasifikasi
160-169
0.03
Sangat Superior
150-159
0.20
140-149
1.10
130-139
3.10
superior
120-129
8.20
110-119
18.10
Rata-rata Tinggi
100-109
23.50
Rata-rata Normal
90-99
23.00
80-89
14.50
Rata-rata Rendah
70-79
5.60
Batas Lemah
60-69
2.00
Lemah Mental
50-59
0.40
40-49
0.20
30-39
0.03
Tabel Distribusi IQ untuk Kelompok Standarisasi Tes Binet Tahun
1937 (dalam Azwar, 1996)

IQ
Persentase
Klasifikasi
Teoritis
Sample
≥130
2.2
2.6
Sangat Superior
120-129
6.7
6.9
Superior
110-119
16.1
16.6
Di Atas Rata-rata
90-109
50.0
49.1
Rata-rata
80-89
16.1
16.1
Di Bawah Rata-rata
70-79
6.7
6.4
Batas Lemah
≤69
2.2
2.3
Lemah Mental
Distribusi Persantase IQ untuk Sampel Standarisasi WAIS-R
Tahun 1981 (dalam Azwar, 1996)

B.       Usaha Orang Tua dan Guru Membantu Perkembangan Inteligensi Remaja

Potensi intelektual tidak dapat berkembang dengan sempurna tanpa mendapatkan perlakuan dari lingkungan. Oleh karena itu, keluarga dan sekolah mempunyai peran yang sangat penting dalam mengembangkan kecerdasan anak. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain berikut ini.
1.      Dalam proses belajar mengajar hendaknya orang tua atau guru hendaknya lebih mengutamakan proses dari pada hasil. Misalnya, dalam memberikan pertanyaan kepada peserta didik tidak mengutamakan betul atau salah jawabannya semata, tetapi yang lebih penting dihargai adalah keberaniannya untuk mengemukakan pendapatnya itu.
2.      Menggunakan metode pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir, misalnya metode penemuan (inquiry), diskusi dan sejenisnya.
3.      Guru membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang bersifat abstrak.
4.      Menyediakan fasilitas yang memadai untuk menumbuhkembangkan taraf kecerdasan anak, misalnya bahan bacaan, peralatan labor, permainan, dan sebagainya.
5.      Memberikan tugas sekolah dengan berbagai macam metode yang dapat merangsang dan mengembangkan daya pikir.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan

Perkembangan intligensi remaja sedang berada pada tahap ke empat yang disebut periode operasional formal. Dengan demikian seyogyanya remaja telah mampu berpikir secara abstrak, mampu berpikir berbagai kemungkinan tentang dirinya, kelanjutan studi, jenis pekerjaan yang cocok, manfaat pengalaman hidup, dan hubungan antara berbagai macam fakta.

B.       Saran
Penulis mengaharapkan semoga dengan penulisan makalah ini dapat memberi manfaat kepada pembaca terutama kita sebagai calon pendidik dan konselor dapat memahami apa-apa saja yang karakteristik perkembangan inteligensi remaja sehingga kita mampu memberikan pengajaran dan pelayanan yang tepat sasaran sesuai kebutuhan remaja sebagai peserta didik kita.